D. PERGERAKAN NASIONAL
1. Pengertian
Pergerakan nasional adalah
suatu bentuk perlawanan terhadap kepada kaum
penjajah yang dilaksanakan tidak dengan menggunakan kekuatan bersenjata, tetapi
menggunakan organisasi yang bergerak di bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik. Demikian halnya dengan pergerakan
nasional yang terjadi di Indonesia.
Pada awalnya, berdirinya organisasi ini tidak ditujukan
untuk perlawanan terhadap kaum
penjajah, tetapi organisasi-organisasi tersebut pada dasarnya didirikan dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang
mengalami penderitaan akibat penjajahan, namun pada akhirnya bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan. Hal yang demikian
ini pula yang menjadi faktor awal
berdirinya berbagai macam organisasi pergerakan
nasional di Indonesia.
Pergerakan
nasional melawan penjajahan Belanda di Indonesia diawali pada permulaan abad
ke-20, dengan berdirinya organisasi Budi Utomo,
Sarikat Islam dan berbagai macam organisasi lainnya. Organisasi-organisasi yang berdiri pada masa itu disebut
sebagai organisasi pergerakan nasional, yang mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Keanggotaannya tidak didasarkan atas kelompok etnis
(suku) tertentu
melainkan semua kelompok etnis.
2. Sebagian besar pemimpin organisasi pergerakan nasional itu
berasal dari kalangan terdidik yang
memperoleh pendidikan Barat serta kelompok intelektual yang sudah bergaul
dengan berbagai bangsa, baik
melalui sekolah di dalam negeri, Belanda, maupun yang
telah menunaikan ibadah haji.
3. Organisasi-organisasi pergerakan nasional tersebut
memiliki tujuan yang jelas bagi kepentingan seluruh bangsa di bidang sosial,
pendidikan, ekonomi, budaya, dan politik.
4. Organisasi-organisasi pergerakan nasional memiliki paham kebangsaan
atau nasionalisme.
Dengan kata lain pergerakan nasional Indonesia adalah
suatu bentuk perlawanan
bangsa Indonesia terhadap penjajah yang dilaksanakan dengan menggunakan organisasi, terjadi pada awal abad
ke-20, yang diperuntukkan bagi kepentingan seluruh
bangsa Indonesia, yang berasal dari
berbagai kelompok etnis, agama, dan budaya, dan bertujuan untuk memajukan bangsa Indonesia di bidang
pendidikan, ekonomi, sosial, budaya,
dan politik serta untuk memperoleh kemerdekaan dari penjajah Belanda.
2. Faktor Pendorong Munculnya Pergerakan Nasional
Indonesia
a. Faktor Ekstern
1. Munculnya kesadaran tentang pentingnya semangat
kebangsaan, semangat nasional, perasaan senasib sebagai
bangsa terjajah, serta keinginan untuk
mendirikan negara berdaulat lepas dari cengkeraman imperialisme di
seluruh negara-negara jajahan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20.
2. Fase tumbuhnya anti imperialisme tersebut berkembang bersamaan
dengan atau dipengaruhi oleh lahirnya golongan terpelajar yang memperoleh pengalaman pergaulan
internasional serta mendapatkan
pemahaman tentang ide-ide baru dalam kehidupan
bernegara yang lahir di Eropa, seperti demokrasi, liberalisme, sosialisme, dan komunisme melalui
pendidikan formal dari negara-negara Barat.
3. Paham-paham tersebut pada dasarnya mengajarkan tentang betapa pentingnya persamaan derajat semua warga negara
tanpa membedakan warna kulit, asal usul keturunan,
dan perbedaan keyakinan agama. Paham tersebut
masuk ke Indonesia dan dibawa oleh tokoh-tokoh Belanda yang berpandangan maju, golongan terpelajar Indonesia yang memperoleh
pendidikan Barat, serta alim ulama
yang menu naikan ibadah haji dan memiliki pergaulan dengan sesama umat
muslim seluruh dunia.
4. Perang Dunia I (1914-1919) telah menyadarkan
bangsa-bangsa terjajah bahwa
negara-negara imperialis telah berperang di antara mereka sendiri. Perang tersebut merupakan perang
memperebutkan daerah jajahan.
Tokoh-tokoh pergerakan nasional di Asia, Afrika dan Amerika Latin telah menyadari bahwa kini
saatnya telah tiba bagi mereka
untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah yang sudah
lelah berperang.
5. Munculnya rumusan damai mengenai penentuan nasib sendiri (self
determination) Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson pasca perang dunia I disambut tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia
sebagai pijakan dalam perjuangan mewujudkan kemerdekaan.
6. Lahirnya komunisme melalui Revolusi Rusia 1917 yang
diikuti dengan semangat anti
kapitalisme dan imperalisme telah mempengaruhi tumbuhnya ideologi perlawanan
di negara-negara jajahan terhadap
imperialisme dan kapitalisme Barat. Konflik ideologi dunia antara kapitalisme atau imperialisme sosialisme
atau komunisme telah
memberikan dorongan bagi bangsa-bangsa terjajah
untuk melawan kapitalisme atau imperialisme Barat.
7. Munculnya nasionalisme di Asia dan di negara-negara
jajahan lainnya di seluruh
dunia telah mengilhami tokoh-tokoh pergerakan nasional untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 telah memberikan keyakinan bagi tokoh nasionalis Indonesia
bahwa bangsa kulit putih Eropa
dapat dikalahkan oleh kulit berwarna Asia. Demikian juga,
model pergerakan nasional yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi di India, Mustapha
Kemal Pasha di Turki, serta Dr. Sun Yat Sen
di Cina telah memberikan inspirasi bagi kalangan terpelajar nasionalis Indonesia bahwa imperialisme Belanda
dapat dilawan melalui organisasi modern dengan cara memajukan ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, dan politik pada bangsa Indonesia terlebih dahulu sebelum
memperjuangkan kemerdekaan.
b. Faktor Intern
1. Penjajahan
mengakibatkan terjadinya penderitaan rakyat Indonesia yang tidak terkira. Sistem penjajahan Belanda
yang eksploitatif terhadap
sumber daya alam dan manusia Indonesia serta
sewenang-wenang terhadap warga pribumi telah menyadarkan penduduk Indonesia
tentang adanya sistem kolonialisme dan imperialisme
Barat yang menerapkan ketidaksamaan dan perlakuan yang membeda-bedakan
(diskriminatif).
2. Kenangan akan kejayaan masa lalu. Rakyat Indonesia pada
umumnya menyadari bahwa mereka pernah memiliki negara kekuasaan yang jaya dan berdaulat di masa lalu (Sriwijaya
dan Majapahit). Kejayaan ini
menimbulkan kebanggaan dan meningkatnya
harga diri sebagai suatu bangsa. Oleh karena itu, rakyat Indonesia berusaha untuk mengembalikan kebanggaan dan
harga diri sebagai suatu bangsa tersebut.
3. Lahirnya kelompok terpelajar yang memperoleh pendidikan
Barat dan Islam dari luar
negeri. Kesempatan ini terbuka setelah pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-20
menjalankan Politik Etis (edukasi, imigrasi, dan irigasi). Orang-orang
Indonesia yang memperoleh
pendidikan Barat berasal dari kalangan priyayi abangan yang memiliki status bangsawan. Sebagian lainnya
berasal dari kalangan
priyayi dan santri yang secara sosial ekonomi memiliki kemampuan untuk menunaikan ibadah haji serta memperoleh
pendidikan tertentu di luar negeri.
4. Lahirnya kelompok terpelajar Islam telah menyadarkan
bangsa Indonesia terjajah yang
sebagian besar penduduknya beragama Islam.
Kelompok intelektual Islam telah menjadi agent of change atau agen pengubah cara pandang masyarakat bahwa nasib bangsa
Indonesia yang terjajah tersebut tidak dapat diperbaiki melalui belas-kasihan penjajah seperti Politik Etis misalnya. Nasib bangsa
Indonesia harus diubah oleh bangsa Indonesia sendiri dengan cara memberdayakan bangsa melalui peningkatan taraf hidup
di bidang ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya.
5. Menyebarnya paham-paham baru yang lahir di Eropa, seperti
demokrasi, liberalisme, sosialisme,
dan komunisme di negeri jajahan (Indonesia) yang
dilakukan oleh kalangan terpelajar.
Muncul dan
berkembangnya semangat persamaan derajat pada masyarakat
Indonesia dan berkembang menjadi gerakan politik yang sifatnya nasional. Tindakan pemerintah kolonial yang semakin
represif seperti pembuangan para pemimpin Indische Partiij pada 1913, ikut campurnya Belanda dalam urusan internal Sarekat Islam, dan penangkapan tokoh-tokoh
nasionalis telah menimbulkan gerakan nasional untuk memperoleh kebebasan
berbicara, berpolitik, serta menentukan nasib
sendiri tanpa dicampuri pemerintah kolonial Belanda.
3. Organisasi
Pergerakan Nasional Indonesia
Budi Utomo (BU)
Dr. Sutomo
|
Budi
utomo sejak awal berdiri sudah menetapkan bahwa bidang perhatian organisasi ini pada upaya peningkatan
pendidikan dan memajukan pendidikan masyarakat dengan
memberi kesempatan dan beasiswa bagi rakyat
Indonesia untuk menempuh pendidikan. Hanya saja ruang lingkup yang menjadi obyek pengembangan pendidikan ini pada awalnya hanya meliputi penduduk Jawa dan Madura.
Bilamana
diperhatikan dari segi keanggotaannya, organisasi budi utomo mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: (1) bersifat
lokal, sebab anggotanya hanya
terbatas pada orang jawa dan madura, kemudian berkembang ke Bali, tidak meliputi seluruh wilayah
Indonesia; (2) bersifat moderat
dan aristokratis, tidak bertindak radikal dalam memperjuangkan tujuannya. Hal ini dimaklumi karena sebagian besar
anggotanya adalah pegawai negeri dan juga dari lapisan ningrat.
Pada
kongres Budi Utomo yang diselenggarakan pada 3-5 Oktober
1908, Tirto Kusumo diangkat menjadi Ketua Pengurus Besar. Dalam kongres ini, etnonasionalisasi semakin
bertambah besar. Selain itu, dalam kongres tersebut juga timbul dua
kelompok, yaitu kelompok pertama diwakili
oleh golongan pemuda yang merupakan minoritas yang cenderung menempuh jalan politik dalam menghadapi pemerintah
kolonial. Adapun kelompok kedua
merupakan golongan mayoritas diwakili
oleh golongan tua yang menempuh perjuangan dengan cara lama, yaitu
sosiokultural (pendidikan, pengajaran dan kebudayaan).
Golongan minoritas yang berpandangan maju dalam organisasi
ini dipelopori oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo. Dr. Tjipto Mangunkusumo ingin menjadikan Budi Utomo bukan hanya sebagai partai politik
yang mementingkan rakyat,
melainkan juga sebuah organisasi yang kegiatannya tersebar di Indonesia, bukan hanya di Jawa dan Madura.
Sementara golongan tua menginginkan
pembentukan dewan pimpinan yang didominasi
oleh para pejabat generasi tua. Golongan ini juga mendukung pendidikan yang luas bagi kaum priyayi dan mendorong
kegiatan pengusaha Jawa. Tjipto
terpilih sebagai seorang anggota dewan. Namun, pada 1909 dia mengundurkan diri dan akhirnya bergabung
dengan Indische Partiij yang perjuangannya bersifat
radikal.
Karakteristik Budi Utomo yang seperti demikian
menyulitkan untuk bertindak
revolusioner, walaupun lambat laun juga mempunyai program politik dan memperluas keanggotanya hingga sampai ke Bali.
Hal ini terjadi karena banyak
dari anggota Budi Utomo adalah pegawai pemerintahan Belanda dan banyak yang berasal dari kalangan
ningrat. Kondisi inilah yang mengakibatkan keluarnya
beberapa orang tokoh utama dari Budi Utomo,
seperti Cipto Mangunkusumo, Soetomo, dan Soepomo. Tokoh-tokoh ini
beralih ke Indische Party yang gerakannya lebih radikal.
Dalam perkembangan selanjutnya Budi Utomo tetap
meneruskan cita-cita mulia menuju
kemajuan yang selaras buat tanah air dan bangsa. Ketika pecah Perang Dunia I (1914) Budi Utomo turut
memikirkan cara mempertahankan
Indonesia dari serangan luar, yang mengusulkan dibentuknya
”Komite Indie Weeber" (komisi untuk pertahanan negara)
Budi Utomo juga terlibat dalam rapat-rapat untuk
membentuk Dewan Rakyat (Volksraad),
yang baru dapat terealisasi tahun 1918. Belanda memang memberi peluang pada
Budi Utomo untuk terlibat, karena
sikapnya yang moderat sehingga pemerintah kolonial tidak terlalu mengkhawatirkan
organisasi tersebut.
Pada dekade ketiga
abad ke-20, April 1930, Budi Utomo dibuka keanggotannya
bagi semua golongan bangsa Indonesia. Pada kongres April 1931, anggaran dasar Budi Utomo diubah untuk membuka diri. Pada kongres itu diputuskan untuk bekerja sama
dengan organisasi lain yang berdasarkan prinsip kooperasi. Dalam
konferensi yang diselenggarakan pada
Desember 1932 di Solo, diumumkan tentang disahkannya badan persatuan yang terdiri dari
organisasi-organisasi yang bertujuan mencapai
Indonesia merdeka, namanya Parindra. Kelompok organisasi ini bersifat
kooperasi tapi terhadap sesuatu hal yang lain bisa jadi non kooperasi.
Walaupun
pada awalnya organisasi Budi Utomo dikhususkan untuk masyarakat Jawa dan Madura, namun Budi Utomo adalah organisasi modern pertama dalam pergerakan nasional
Indonesia yang bertujuan untuk
memajukan masyarakat pribumi dan usianya paling lama, Budi Utomo merupakan organisasi perintis jalan untuk
pertumbuhan organisasi-organisasi
politik lainnya. Budi Utomo merupakan fase pertama dari nasionalisme Indonesia, menjadi inspirasi
bangkitnya fahamfaham kebangsaan Indonesia.
Sarekat Islam (SI)
Sarekat
Islam (SI) pada awalnya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI), yaitu perkumpulan bagi pedagang Islam yang
didirikan tahun 1911 di
Solo, oleh H. Samanhudi. Organisasi ini mempunyai tujuan memajukan perdagangan
Indonesia di bawah panji Islam, serta agar para pedagang Islam dapat bersaing
dengan pedagang Barat maupun Timur Asing.
Sarekat
Dagang Islam mengalami perkembangan cukup pesat, hal
ini terjadi karena:
1. Pedagang keturunan Tionghoa melakukan monopoli
bahan-bahan batik, ditambah pula
dengan tingkah laku mereka yang tidak mengenakkan pada
pedagang pribumi;
2. Penyebaran agama Kristen yang merupakan tantangan bagi
para penganut Islam;
3. Adat lama yang bertentangan dengan ajaran Islam yang terus
dipertahankan di daerah Jawa, makin
lama makin dirasakan sebagai penghinaan terhadap umat
Islam.
Faktor lain yang
mempengaruhi pesatnya pertumbuhan perkumpulan
pedagang Islam tumbuh pesat terutama setelah Tjokroaminoto masuk dan
kemudian menjadi pemimpin Sarekat Dagang Islam.
SDI
berganti namanya menjadi Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912.
SI mempunyai tujuan mengembangkan perekonomian guna mencapai kemajuan rakyat yang nyata dengan jalan persaudaraan, persatuan, dan tolong menolong di antara kaum muslimin.
Keanggotaannya terbuka untuk setiap lapisan masyarakat yang beragama
Islam.
Pada
Juni 1916, mengembangkan sebuah cita-cita terbentuknya satu bangsa bagi penduduk Indonesia. Pada kongres 1917, SI
mulai dimanfaatkan oleh kekuatan lain untuk
kepentingan politik tertentu dan disusupi
aliran revolusioner sosialis dengan tokohnya Semaun yang menduduki ketua SI cabang Semarang. Dengan masuknya
Semaun, tujuan SI kemudian berubah menjadi membentuk pemerintah sendiri
dan perjuangan melawan penjajah dari kapitalisme yang jahat. Dalam kongres
diputuskan tentang keikutsertaan SI dalam Volksraad.
Masuknya
kaum sosialis-komunis di dalam tubuh SI, hingga memberikan
pengaruh terhadap tujuan SI dan ditambah dengan pernyataan bahwa menjadi penjajahan dalam lapangan kebangsaan dan perekonomian itu adalah buah dari kapitalisme dan
kapitalisme hanya bisa dikalahkan oleh per satuan kaum buruh dan petani.
Pada
tahun 1921, SI menetapkan bahwa seseorang harus memilih antara SI atau organisasi lain. Pilihan ini
sebenarnya bertujuan untuk membersihkan barisan SI dari unsur-unsur komunis.
Dengan keputusan tersebut, seseorang
tidak mungkin menjadi anggota SI sekaligus menjadi anggota
PKI.
Kondisi
tersebut mengakibatkan terjadinya perpecahan di tubuh SI, dan berganti nama SI Merah dan SI Putih. SI Merah
yang dipimpin oleh Semaun berpusat di
Semarang dan berazaskan komunis. Adapun SI Putih
dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto yang berlandaskan Islam.
Perkembangan
selanjutnya SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), sedangkan SI Merah menjadi Sarekat Rakyat
yang kemudian menjadi organisasi yang
berada di bawah naungan PKI. PSI mempunyai tujuan
perjuangan untuk mencapai kemerdekaan nasional. Karena tujuannya yang jelas itulah maka PSI menggabungkan diri
dengan Permufakatan
Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Kongres
PSI 1927 menyatakan bahwa Karena keragaman cara pandang di antara elite partai, PSII pecah menjadi
beberapa partai politik, seperti
Partai Islam Indonesia yang dipimpinan oleh Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan PSII sendiri. Perpecahan
itu melemahkan PSII dalam perjuangannya.
Indische Partiij
Indische
Partiij merupakan organisasi yang didirikan oleh orang Indo dan anggotanya juga kebanyakan orang Indo, yaitu
campuran orang Indo dengan
Pribumi. Didirikan oleh Dr. Ernest Francois Eugene Douwes Dekker pada 25 Desember 1912. Dr. Ernest Francois Eugene
Douwes Dekker adalah seorang
keluarga jauh Edward Douwes Dekker (Multatuli). Dia kemudian bekerja sama dengan dua orang, Tjipto Mangunkusumo
dan Suwardi Suryaningrat. Ketiga
tokoh ini dikenal dengan sebutan Tiga Serangkai.
Indische Partiij menyatakan
bahwa nasionalisme merupakan hal paling
penting dan oleh karena itu harus diperjuangkan. Partai ini juga dengan tegas menyatakan harus dicapainya
kemerdekaan Indonesia dari pemerintah kolonial Belanda. Dalam
perjuangannya, partai ini bersikap radikal
terutama dalam menghadapi sistem kolonial Belanda. Indische Partiij menuntut dihapusnya eksploitasi rakyat
dan oleh karena itu mereka beranggapan
bahwa penghapusan eksploitasi dapat dicapai apabila
Hindia Belanda
memperoleh kemerdekaan sistem politik dan pemerintahan yang demokratis.
Anggaran
dasar Indische Partiij menetapkan tujuan membangun lapangan hidup, menganjurkan kerja sama atas dasar
persamaan ketatanegaraan, memajukan tanah air Hindia Belanda, dan
mempersiapkan kehidupan rakyat
merdeka. Indische Partiij berdiri atas dasar nasionalisme yang menampung semua
suku bangsa di Hindia Belanda dengan tujuan akhir mencapai kemerdekaan. Paham kebangsaan ini kemudian
diolah dan dikembangkan oleh
partai-partai lain, seperti Perhimpunan Indonesia (PI) dan Partai Nasional
Indonesia (PNI).
Ki Hajar Dewantara
|
Meskipun
organisasi ini berumur pendek, Indische Partiij telah memberikan perlawanan gigih dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Partai ini
merupakan partai pertama yang menanamkan paham kebangsaaan.
Partai Komunis Indonesia (PKI)
Partai Komunis Indonesia
adalah organisasi pergerakan sosialis yang
mengadopsi nilai-nilai perjuangan komunisme dari Rusia. Pada awalnya organisasi ini bernama Indische Social Demokratische Vereeniging (ISDV), yang kemudian berubah menjadi Partai
Komunis Indonesia pada tahun 1924.
Gerakan
ini dipelopori oleh seorang Marxis Belanda Sneevliet yang
ingin menyebarkan ajaran-ajaran Marxis di Indonesia, khususnya tentang manifesto-komunisnya. Konsep perjuangannya
adalah mempertentangkan kelas antara
kaum pribumi sebagai buruh dan penjajah sebagai kapitalisme Barat. Sneevliet adalah pendiri organisai Indische Social Demokratische
Vereeniging (ISDV) (Dekker,
1993).
ISDV
didirikan Sneevliet pada tahun 1914 di Semarang. Perkumpulan ini merupakan perkumpulan campuran antara
orang-orang Belanda dengan orang-orang
Indonesia yang mempunyai pandangan politik sama.
Sneevliet
berusaha mempengaruhi tokoh-tokoh terkemuka pada perkumpulan orang Indonesia untuk menerima ajaran Marxis.
Setelah itu tokoh-tokoh Marxis dalam ISDV menyusup ke
tubuh organisasi Sarekat Islam yang dianggap
memiliki basis massa yang banyak dan bersedia menerima pikiran-pikiran radikal perjuangan sosialis. Selain itu,
anggota Sarekat Islam yang radikal
bisa masuk ISDV tanpa harus meninggalkan Sarekat Islam.
Komunisme cepat berkembang di kalangan rakyat Indonesia
yang terjajah. Kondisi
buruknya kehidupan ekonomi pribumi dapat dimanfaatkan
dengan baik oleh tokoh-tokoh komunis Indonesia. Tokohtokoh komunis juga memanfaatkan kondisi buruknya hubungan antara gerakan politik dan pemerintah Belanda. ISDV
semakin kuat setelah pecahnya
Revolusi Rusia pada 1917, berdirinya Uni Soviet, dan Communis International (Comintern) Maret 1919.
Komunis Indonesia makin radikal dan mendapat dukungan yang luas setelah pada
1922 melakukan pemogokkan-pemogokkan untuk menuntut kenaikan upah dari
kaum kapitalis.
Gerakan-gerakan
ISDV yang radikal dalam menentang kapitalisme Belanda
mengakibatkan orang-orang ISDV diusir Belanda. Pimpinan komunis di Indonesia diambil alih oleh orang Indonesia sendiri dan kemudian mendirikan organisasi dengan nama
Perserikatan Komunis Hindia pada Mei
1920. Pada 1924 nama ini berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI dengan cepat berkembang karena mendapat banyak dukungan dari kalangan rakyat
jelata yang terjajah. PKI masuk
Komintern pada 1920. Tokoh-tokoh PKI di antaranya, Semaun, Alimin, Tan
Malaka, dan Darsono (Dekker, 1993).
PKI
dalam melaksanakan kegiatannya bersifat praktis dan radikal, organisasi ini dengan tegas menyatakan ingin melakukan
gerakan revolusi untuk
menggulingkan pemerintahan kolonial Belanda. Tokohtokohnya dengan cerdik mampu memanfaatkan militansi
Islam yang juga berkeinginan untuk
melawan pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, banyak tokoh Islam yang
direkrut untuk menyebarkan propaganda PKI yang anti
kapitalisme Belanda. Misalnya di daerah berbasis Islam, Banten dan Minangkabau,
terjadi pemberontakan melawan kapitalisme Barat
pada 1926 dan 1927.
Akibat pemberontakan,
pemerintah kolonial Belanda melakukan penindasan
terhadap pengikutnya. Pemimpinnya dibuang, sejumlah 13.000
anggotanya ditangkap, 4.000 orang dihukum, dan 1.300 orang dibuang ke Digul. Oleh pemerintah kolonial, PKI
dinyatakan sebagai organisasi
terlarang, walaupun aktivitas politiknya masih terus berjalan. Semaun, Darsono, dan Alimin meneruskan propaganda
untuk mendukung aksi revolusioner
dan menuntut kemerdekaan Indonesia.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
Partai
Nasional Indonesia didirikan oleh kaum terpelajar, yang dipelopori oleh Soekarno. Berdiranya PNI, tidak terlepas
dari pengaruh dilarangnya PKI oleh
pemerintah kolonial.
Kaum
terpelajar dan intelektual serta tokoh-tokoh perjuangan lainnya berusaha memikirkan strategi yang harus dijalankan
untuk mencegah agar
organisasi-organisasi baru tidak terperangkap pada kendala
yang sama. Untuk itu mereka berkesimpulan bahwa kekerasan dan radikalisme bukan
jalan perjuangan yang baik dalam menghadapi pemerintah
kolonial.
Golongan
terpelajar yang berada dalam Algemene Studie Club Bandung pada 4 Juli 1927 mendirikan Partai Nasional
Indonesia (PNI) di Bandung. Organisasi
yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. PNI didirikan dengan tujuan untuk menampung orang-orang yang merasa
aspirasinya tidak terwakili dalam
organisasi-organisasi politik yang ada saat itu. Tujuan PNI adalah untuk mencapai Indonesia merdeka dengan
asas perjuangan berdiri di
atas kaki sendiri, nonkooperasi, dan marhaenisme.
Ir. Sukarno
|
Propaganda-propaganda
Ir. Soekarno yang menarik dukungan masyarakat
telah mengkhawatirkan pemerintah kolonial Belanda. Gubernur Jenderal Belanda dalam pembukaan sidang
Volksraad pada 15 Mei 1928 memberi
peringatan kepada pemimpin PNI untuk menahan diri dalam ucapan dan propagandanya. Karena tidak dihiraukan,
pemerintah kolonial Belanda segera
mengadakan penangkapan terhadap para pemimpin
PNI, seperti Ir. Soekarno, Maskun, Gatot Mangkupraja, dan Supriadinata. Penangkapan itu terjadi pada 24 Desember
1929. Mereka kemudian diajukan ke depan pengadilan
Landraad di Bandung.
Pengadilan
Ir. Soekarno dan rekannya dihadiri oleh banyak kalangan, baik dari tokoh-tokoh pergerakan di luar maupun
di dalam kota Bandung. Pidato pembelaan
Soekarno dikenal dengan Indonesia Menggugat
yang di dalamnya berisi antara lain pandangan Soekarno mengenai pergerakan nasional, pentingnya kemerdekaan bagi
bangsa I ndoensia, dan
dihapuskannya pemeritah kolonial.
Pengadilan
tersebut menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara untuk Soekarno, 2 tahun untuk Gatot Mangkuraja, 1 tahun 8 bulan
untuk Maskun dan 1 tahun 3
bulan untuk Supriadinata dengan tuduhan melakukan perbuatan yang mengganggu ketertiban umum dan menentang
kekuasaan pemerintah.
Dipenjarakannya
tokoh-tokoh penting PNI men imbulkan pemikiran untuk membubarkan PNI, demi keselamatan para anggota,
1933. Sementara itu, Mr. Sartono, melalui kongres
luar biasa mendirikan partai baru bernama
Partai Indonesia (Partindo) dengan Sartono sebagai ketuanya. Sedangkan Mohammad Hatta dan Sutan
Sjahrir mendirikan partai baru yaitu PNI Pendidikan (PNI Baru).
Partai Indonesia (Partindo)
Partindo
berasaskan non kooperatif, konsep sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme dari Ir. Soekarno diterima sebagai
citacita yang dituju Partindo.
Partindo adalah partai politik yang menghendaki kemerdekaan Indonesia
yang didasarkan prinsip menentukan nasib sendiri, kebangsaan, menolong diri sendiri, dan demokrasi. Partindo
menekankan perjuangan radikal dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan
penuh.
Kongres
Partindo pada 15-17 Mei 1932 di Jakarta dihadiri oleh Ir. Soekarno yang saat itu belum menjadi anggota. Dalam
pidato tersebut, Soekarno
memunculkan slogan "Indonesia merdeka sekarang," "kerakyatan
dan kebangsaan," dan "Persatuan Indonesia."
Pada
kongres Juli 1933, Soekarno menjelaskan konsep Marhaenisme. Pada dasarnya Marhaenisme menyukai perjuangan
membela rakyat kecil serta
menekankan kebahagiaan, kesejahteraan, dan keadilan sosial
untuk marhaen atau rakyat kecil.
Sikap
pemerintah kolonial Belanda terhadap Partindo semakin keras. Pada 1933 dikeluarkan larangan bagi pegawai negeri
untuk menjadi anggota Partindo.
Puncaknya adalah penangkapan Soekarno pada
1 Agustus 1933 oleh Gubernur Jenderal De Jonge. Soekarno kemudian
dibuang ke Ende, Flores.
Setelah
penangkapan tersebut, ruang gerak partai menjadi sempit. Kongres yang rencananya akan diselenggarakan pada
30-31 Desember 1934 dilarang oleh pemerintah. Meskipun begitu, Partindo berjalan
terus sampai membubarkan diri pada 18 November 1936.
Perhimpunan Indonesia
Perhimpunan Indonesia adalah salah satu organisasi
pergerakan nasional yang berdiri
di negeri Belanda. Perhimpunan Indonesia didirikan oleh mahasiswa Indonesia serta orang-orang Belanda yang
menaruh perhatian pada nasib Hindia Belanda yang
tinggal di Negeri Belanda.
Perhimpunan
Hindia atau Indische Vereeniging
(IV) berdiri pada tahun 1908, yang
dibentuk sebagai sebuah perhimpunan yang bersifat sosial. Organisasi ini merupakan ajang pertemuan dan
komunikasi antar mahasiswa Indonesia yang belajar di
negeri Belanda.
Namun, setelah kedatangan pemimpin Indische
Partiij di Belanda, IV berkembang pesat dan
memusatkan kegiatannya pada bidang politik. Tokoh-tokoh organisasi yang berpandangan maju tersebut mencetuskan
untuk pertama kali konsep Hindia Bebas dari Belanda dan terbentuknya negara
Hindia yang diperintah oleh rakyatnya sendiri.
Program kegiatannya antara lain bekerja di Indonesia dan
membentuk Indonesische Verbond van Studeerenden
(Persatuan Mahasiswa Indonesia).
Hal terpenting dari penggabungan ini adalah dengan digantinya "Indische" dengan
"Indonesische." Hal ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia
dikenalkan istilah "Indonesische" atau
"Indonesia" dalam kegiatan akademik dan politik.
Pada
tahun 1923, Iwa Kusumasumatri sebagai ketua, sejak saat itu sifat perjuangan
politik organisasi semakin kuat. Dalam rapat umum 1923 organisasi ini
menyepakati tiga asas pokok organisasi yaitu: (a) Indonesia menentukan nasib sendiri; (b) untuk itu
Indonesia harus mengandalkan
kekuatan dan kemauan sendiri; (c) untuk melawan pemerintah
kolonial Belanda, bangsa Indonesia harus bersatu.
Untuk menunjukkan sikap
nasionalismenya, para pengurus organisasi
ini kemudian mengubah nama majalah Hindia Putera dengan Indonesia Merdeka. Pada edisi pertama majalah Indonesia
Merdeka diungkapkan bahwa
penjajahan Indonesia oleh Belanda dan penjajahan Belanda oleh Spanyol memiliki banyak persamaan. Selain itu
diungkapkan pula alasan tidak
disebutnya negara Hindia Belanda karena hampir sama dengan orang Belanda yang tidak mau menyebut negaranya dengan Nederland-Spanyol. Para mahasiswa
mengetahui hal ini setelah
mempelajari mengenai perjuangan Belanda melawan Spanyol.
Organisasi
ini juga berpendapat bahwa kemerdekaan adalah hak setiap
bangsa yang ada di dunia, termasuk hak bangsa Indonesia yang masih terjajah.
Semangat perjuangan politiknya yang jelas menuju Indonesia merdeka menjadikan organisasi ini disegani oleh oranisasi-organisasi
sejenis di kalangan negara-negara terjajah di Asia. Propaganda tentang tujuan dan ideologi baru bangsa Indonesia
disosialisasikan secara lebih gencar
oleh organisasi ini dengan menerbitkan buklet dalam rangka memperingati
hari jadi yang ke-15 pada 1924.
Indische
Vereeniging (IV) pada 3 Februari 1925 berubah namanya menjadi Perhimpunan Indonesia. Dalam majalah Indonesia
Merdeka, ditulis bahwa perubahan
nama ini diharapkan dapat memurnikan organisasi
dan mempertegas prinsip perjuangan organisasi. Sementara, dalam
artikel yang muncul pada bulan yang sama dengan judul Strijd in Twee
Front (Perjuangan di Dua
Front), menyatakan bahwa perjuangan selanjutnya akan lebih berat dan pemuda
Indonesia tidak akan ada yang dapat
menghindarinya. Mereka harus berusaha mengerahkan semua kemampuannya
jika ingin mencapai kemerdekaan.
Para
pemimpin Perhimpunan Indonesia menyatakan bahwa organisasi mereka merupakan organisasi pergerakan
nasional. Sebagai kelompok elite
serta golongan menengah baru, mereka harus memainkan peran pentingnya sebagai agen pengubah masyarakat dari
masyarakat terjajah menjadi
masyarakat merdeka, dari masyarakat terbelenggu menjadi masyarakat bebas, dan dari masyarakat yang bodoh
menjadi masyarakat yang pintar.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut diperlukan wadah negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat. Salah
seorang pemimpin Perhimpunan
Indonesia, Moh. Hatta, dengan penuh semangat menyerukan
bersatunya semua unsur nasionalis Indonesia.
Di antara empat pikiran pokok ideologi Perhimpunan
Indonesia, pokok pikiran
"merdeka" merupakan kuncinya. Keempat pokok pikiran itu adalah kesatuan nasional, kemerdekaan, nonkooperatif, dan kemandirian. Ideologi Perhimpunan Indonesia yang terdiri dari empat
gagasan telah disetujui pada
Januari 1925. Keempat gagasan tersebut adalah sebagai berikut: (1) membentuk suatu negara Indonesia yang
merdeka; (2) partisipasi seluruh
lapisan rakyat Indonesia dalam suatu perjuangan terpadu untuk mencapai kemerdekaan; (3) konflik
kepentingan antara penjajah dan yang
dijajah harus dilawan dengan mempertajam dan mempertegas konflik. Konflik ditujukan untuk melawan
penjajah; dan (4) pengaruh buruk
penjajahan Belanda terhadap kesehatan fisik dan psikis bangsa Indonesia harus segera dipulihkan dan dinormalkan
dengan cara terus berjuang mencapai kemerdekaan.
Berkembangnya
paham marxisme, leninisme, dan sosialisme di Eropa mengenai perjuangan kelas
dan konflik antara kaum kapitalis dan kaum
proletar telah mempengaruhi cara pandang tokoh-tokoh pergerakan nasional yang tinggal di Belanda, Eropa. Oleh
tokoh-tokoh pergerakan nasional,
paham-paham tersebut diaplikasikan dalam ideologi pergerakan nasional. Mereka memandang bahwa rakyat negeri
jajahan adalah sebagai kaum proletar
yang tertindas akibat imperialisme yang identik dengan kapitalisme. Tokoh pergerakan, seperti Semaun, dibuang ke Amsterdam, Mohammad Hatta, Ali Sastroamidojo, Gatot
Mangkupraja, dan Subarjo adalah
penganut paham-paham baru dari Eropa tersebut. Paham marxis, leninis, dan sosialis telah memberikan dorongan kepada mahasiswa dalam menumbuhkan semangat perjuangan
bangsa kulit sawo matang Indonesia dengan bangsa kulit putih Belanda.
Dalam
melakukan kegiatan politiknya, para mahasiswa Indonesia di Belanda sering mengadakan pertemuan, diskusi ilmiah dan
politik diantara mereka sendiri
serta dengan berbagai mahasiswa lainnya di negeri Belanda. Tujuannya adalah untuk mengembangkan
persamaan pandangan serta
menggalang simpati baik dari Indonesia, dunia internasional, maupun dari orang Belanda sendiri tentang
Indonesia merdeka. Oleh karena itu, PI menganjurkan agar semua organisasi
pergerakan nasional menjadikan
konsep Indonesia merdeka sebagai program utamanya.
Seruan
mahasiswa Indonesia di negeri Belanda terhadap organisasi
pergerakan di Indonesia untuk meningkatkan aktifitas politik mendapat sambutan di Indonesia. Salah satu di
antaranya adalah PKI. Pada November 1926, komite revolusioner PKI
mengadakan pemberontakan di Jawa Barat.
Januari 1927, PKI juga mengulangi aksinya di pantai barat Sumatra. Namun
kedua aksi ini mengalami kegagalan.
Pemberontakan PKI yang gagal di Banten dianggap tanggung jawab PI di Negeri Belanda. Setelah terjadi pemberontakan
tersebut pemerintahan kolonial
Belanda berusaha menangkap para pemimpin PI di Belanda. Tokoh-tokoh PI, seperti Ali Sastroamidjojo,
Abdul Karim, M Jusuf, dan Moh.
Hatta dianggap memiliki hubungan dekat dengan Moskow, sebagai markas gerakan comintern. Akibat tuduhan itu
mereka ditangkap, kemudian
diadili atas tuduhan makar terhadap pemerintah. Karena
pembelaan mereka, akhirnya mereka dibebaskan setelah tidak terbukti terlibat dalam pemberontakan tersebut.
Dalam pidato pembelaannya, mereka
menjelaskan bahwa PI hanya sekedar membicarakan kemungkinan tindak kekerasan, kecuali pemerintah Belanda memikirkan tentang kemerdekaan Indonesia. Pembebasan mereka
dari tuduhan tersebut dirayakan oleh
anggota-anggota PI dan partai-partai nasionalis Indonesia, karena dianggap sebagai suatu kemenangan gerakan nasionalis atas negeri kolonial Belanda. Karena
kemenangan tersebut, maka kaum nasionalis Indonesia di Belanda semakin
mendapat simpati massa di Belanda.
Perhimpunan Indonesia mempunyai peran penting dalam pergerakan nasionalis Indonesia, walaupun organisasi ini
berdiri di Belanda dan banyak
bergerak di negeri tersebut. Peran tersebut antara lain:
(1) sebagai pembuka keterkungkungan psikologis bangsa Indonesia dan kekuasaan sistem kolonial; (2) pengembang
ideologi sekuler sehingga bisa
mendorong semangat revolusioner dan nasionalis; (3) mempersatukan unsur
golongan ke dalam organisasi secara keseluruhan; (4) memperkenalkan istilah Indonesia untuk
mengembangkan jati diri nasional dan
tidak bersifat kedaerahan; dan (5) sebagai organisasi kebangsaan yang paling orsinil dalam
mempropagandakan ideologi Indonesia Merdeka.
Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI)
PPKI merupakan
organisasi yang didirikan sebagai upaya untuk mengumpulkan berbagai macam organisasi sosial politik
menjadi satu, agar bisa menjadi
kekuatan yang sangat besar dalam melawan penjajah Belanda.
Terbentuknya gagasan tentang persatuan Indonesia dilatarbelakangi
adanya kesadaran dikalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional bahwa berjuang hanya melalui masing-masing
organisasi pergerakan nasional tidak
akan membawa hasil. Dengan perjuangan sendiri-sendiri akan mudah ditumpas oleh pemerintah kolonial.
Terbukti, PKI yang melakukan
pemberontakan sendiri juga telah gagal dan berakhir dengan dilarangnya
partai politik tersebut.
Ir.
Soekarno merupakan salah satu tokoh yang merasa yakin benar bahwa front bersama
sangatlah penting bagi mempersatukan perjuangan politik
pergerakan nasional Indonesia. Dalam merealisasikan ide ini, Soekarno dibantu
oleh Sukiman, mengajak PSI untuk turut bergabung. Namun ide ini ditolak oleh
PSI dengan alasan bahwa sebagian tokoh PNI
dan Soekarno sendiri dianggap sebagai didikan Belanda, karena itu diragukan kenasionalisannya. Sebagian
kalangan pergerakan nasional
Indonesia yang masih berpandangan kolot masih menganggap bahwa mereka yang bukan dididik dan dibesarkan di
Indonesia tidak memiliki pandangan positif tentang kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal 17-18 Desember 1927 diputuskan
untuk dibentuk Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI). Perhimpunan ini menampung
beberapa organisasi pergerakan nasional,
seperti PSI, BU, PNI, Pasundan, Sumatranen Bond, Kaum Betawi, dan Kelompok Studi Indonesia.
PPPKI
dianggap telah mampu mengimbangi kekuatan pemerintah Belanda. PPPKI juga diharapkan mampu mempersatukan dan
menjadikan gerakan-gerakan politik nasional berada
dalam satu koordinasi yang baik. PPPKI terus
berkembang dan memiliki daya tarik tersendiri bagi parpol-parpol yang
ada di Indonesia. PSI dan BU merupakan salah satu yang memberikan perhatian
khusus terhadap ideologi nasionalis sekuler.
Kongres
PPPKI I diselenggarakan pada 2 September 1928 di Surabaya. Para wakil parpol berharap bahwa kongres ini
merupakan kongres yang dapat
membawa Indonesia ke era baru gerakan kebangsaan. Kongres menunjuk Soetomo sebagai ketua Majelis
Pertimbangan PPPKI. Sebagai ketua, Soetomo berhasil
mempersatukan kaum moderat dan kaum radikal
di tubuh PPPKI. Kongres juga menganjurkan agar dibentuknya seksi PPPKI
daerah agar memudahkan sekaligus memantapkan PPPKI dalam kesadaran
nasionalisnya.
PPPKI
ternyata tidak mampu mewujudkan cita-cita ideal nya, karena
terjadi pertentangan antara tokoh-tokoh partai, seperti pertentangan antara PNI Baru dan Partindo. Perhimpunan ini
akhirnya tidak memiliki peran apapun
di panggung politik, meskipun segala upaya sudah dilakukan Soekarno
dalam rangka mempersatukan partai-partai yang ada.
Intervensi pemerintah
kolonial Belanda terhadap perhimpunan ini juga menjadi salah satu penyebab
semakin menurunnya peran perhimpunan ini
dalam pergerakan nasional. Hal ini sangat disayangkan karena bergabungnya beberapa parpol dalam sebuah himpunan
dianggap sebagai salah satu peristiwa
penting dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia.
Partai Indonesia Raya (Parindra)
Parindra
adalah salah satu organisasi yang didirikan sebagai upaya
untuk mempersatukan persepsi di antara organisasi pergerakan nasional. Mereka menyadari bahwa hanya dengan
persatuan, cita-cita kemerdekaan
Indonesia dapat diwujudkan. Upaya tersebut terus dilakukan dalam
rapat-rapat, diskusi, dan surat kabar.
Salah
satu surat kabar yang menampung gagasan persatuan adalah "Soeloeh Rayat Indonesia." Surat kabar
ini antara lain dimanfaatkan oleh
Kelompok Studi Indonesia di Surabaya untuk menyerukan konsepsinya bahwa perbedaan golongan pendukung
nonkooperasi dan pendukung kooperasi
tidaklah harus dibesar-besarkan. Menurut mereka, tujuan
pergerakan saat ini adalah mengangkat rakyat Indonesia
dari penderitaan berkepanjangan, baik itu melalui kegiatan ekonomi,
sosial, maupun politik.
Pada
November 1930 kelompok studi ini mengubah namanya menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI). Meskipun berusaha mengutamakan agitasi politik, PBI lebih terlihat sebagai
partai lokal Surabaya yang berorientasi pada kerakyatan.
Perkumpulan Rukun Tani yang didirikannya menjadi sarana perbaikan dan
kesejahteraan petani. Dengan basis tersebut,
PBI mendapat dukungan luas di pedesaan sehingga pada 1932 organisasi ini
sudah memiliki anggota 2500 orang dengan 30
cabang. Pada tahun yang sama diadakan kongres yang menetapkan penggalakan koperasi, serikat sekerja
dan pengajaran. Pada 1934, diadakan
kongres di Malang, yang menetapkan bahwa PBI akan lebih memajukan
pendidikan rakyat.
PBI
menggandeng BU untuk bekerja sama dalam upaya untuk menggalang
persatuan. Dari kerja sama yang telah disepakati tersebut disepakati untuk membentuk Partai Indonesia Raya
atau Parindra pada 1935 dengan
menggabungkan organisasi lainnya, seperti Sarikat Celebes, Sarikat Sumatra, Sarikat Ambon,
Perkumpulan Kaum Betawi, dan Tirtayasa.
Parindra
memiliki tujuan mencapai Indonesia mulia dan sempurna. Keunikan Parindra dibanding partai yang lainnya
adalah bahwa partai ini bersifat
kooperasi dan dalam beberapa kegiatannya juga nonkooperasi. Kongres I Parindra yang diselenggarakan pada
Mei 1937 di Jakarta diputuskan bahwa Parindra bersikap kooperatif dan anggota yang
ada dalam dewan harus loyal pada partainya. KRMH Wuryaningrat yang menggantikan Sutomo sebagai ketua berusaha
dengan keras untuk mencapai perbaikan
ekonomi rakyat, pengangguran, peradilan, dan kemiskinan. Dalam memajukan
kesejahteraan ekonomi rakyat, Parindra telah
berjasa mendirikan Perkumpulan Rukun Tani, Rukun Pelayaran Indonesia dan Bank Nasional Indonesia.
Gabungan
Politik Indonesia (Gapi)
Sebelum
Gapi dibentuk, tokoh-tokoh pergerakan nasional masih mencari jalan lain agar perjuangan mereka mencapai
kemerdekaan segera dapat diraih.
Ternyata jalan perjuangan kooperatif dan nonkooperatif masih menghadapi jalan buntu. Tindakan Belanda
yang menutup jalan gerakan
non kooperatif dan mengharuskan gerakan yang kooperatif untuk selalu meminta izin terhadap Belanda,
telah membuat kesal bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, melalui Volksraad, partai-partai mengeluarkan
petisi pada 15 Juli 1936.
Petisi
yang dikenal sebagai Petisi Sutarjo tersebut berisi usulan kepada pemerintah
Belanda untuk mengadakan konferensi membahas tentang
status politik Hindia Belanda di Indonesia. Ia menuntut kejelasan status politik Belanda pada 10 tahun mendatang.
Selain itu, petisi ini juga bertujuan
untuk mendorong rakyat memajukan negerinya dengan
rencana yang mantap dan
matang di bidang politik, ekonomi, dan sosial. Petisi tersebut ditandatangani
oleh Sutardjo, I.J. Kasimo, Sam Ratulangi, Datuk
Tumenggung dan Kwo Kwat Tiong.
Petisi
Sutardjo ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal ini tentu
saja membuat para tokoh pergerakan dan pendukungnya merasa sangat kecewa. Apalagi setelah petisi tersebut
tidak jelas kedudukannya selama dua
tahun, apakah ditolak atau diterima. Meskipun begitu, kejadian tersebut telah mendorong semangat baru
bangsa Indonesia untuk mencari jalan
lain dalam pergerakan nasional. Perbedaan pendapat dan krisis baru di antara tokoh-tokoh pergerakan nasional masih
terus tampak.
Untuk
mengatasi krisis kekuatan nasional, tampillah seorang tokoh yang berusaha untuk mengurangi konflik dan
menyamakan persepsi kembali tentang
betapa pentingnya kesatuan di antara partaipartai politik nasional. Tokoh tersebut adalah M.Husni
Thamrin yang memelopori berdirinya
sebuah organisasi baru, yaitu Gabungan Politik Indonesia (Gapi), pada 21 Mei 1939. Gapi merupakan
gabungan dari Parindra, Gerindo,
Persatuan Minahasa, Partai Islam Indonesia, Partai Katolik
Indonesia, Pasundan, dan PSII.
Langkah
selanjutnya yang ditempuh Gapi adalah pada 24 Desember
1939, dengan membentuk Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Tujuan utama dari
kongres ini adalah "Indonesia Berparlemen."
Resolusi
Gapi ditanggapi dingin oleh pemerintah kolonial. Untuk meredam gerakan nasionalis, pemerintah kolonial segera
membentuk Komisi Visman, sebuah
komisi yang ditujukan untuk menyelidiki keinginan bangsa Indonesia. Komisi ini bekerja tidak
jujur dan lebih memihak kepada penguasa Belanda, sehingga pemerintah Belanda hanya berjanji memberikan status dominion kepada
Indonesia di kemudian hari. Di mata
sebagian kaum nasionalis, komisi ini dianggap sebagai cara pemerintah kolonial untuk mengulur-ngulur
waktu tentang tuntutan bangsa Indonesia.
Gapi yang tetap teguh pada
pendiriannya, segera merubah KRI menjadi
Majelis Rakyat Indonesia (MRI) padal 14 September 1941. Mr. Sartono diangkat sebagai ketua. Organisasi ini
beranggotakan Gapi sebagai wakil
federasi organisasi politik, Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) sebagai wakil organisasi Islam, dan PVPN
sebagai federasi serikat sekerja dan pegawai negeri.
Pada September 1942, MRI berhasil menyelenggarakan
Kongres II di Yogyakarta. Kongres
ini dihadiri ole h MIAI, PVPN, Kongres Perempuan Indonesia, Isteri Indonesia,
Perti, Parindra, Gerindo, Pasundan,
PII, PPKI, PAI, NU, PPBB, Muhammadiyah, PMM, Taman Siswa,
dan PSII. Pada saat itu, MRI merupakan
organisasi yang paling maju karena
telah berhasil menggabungkan organisasi politik, sosial, dan keagamaan
dalan satu wadah.
Nasionalisme adalah suatu gerakan yang bersifat politik
dan sosial dari
kelompok-kelompok bangsa yang bersifat politik dan sosial dari kelompok-kelompok bangsa yang memiliki persamaan
budaya, bahasa, wilayah, serta
persamaan cita-cita dan tujuan. Paham baru di Eropa tersebut berdampak luas ke wilayah Asia-Afrika.
Hal itu terlihat dari banyaknya
gerakan yang menentang penjajahan dan gerakan yang memperjuangkan
kemerdekaan setiap bangsa Asia dan Afrika.
Peristiwa-peristiwa penting antara Perang Dunia I dan II,
antara lain Perang Dunia I, Perjanjian Versailes, pembentukan Liga BangsaBangsa, Perang Dunia II, dan pembentukan Perserikatan
BangsaBangsa.
Pergerakan nasional Indonesia yang terjadi pada awal abad
ke-20 dapat diartikan sebagai pergerakan di seluruh
bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai
kelompok etnis, agama, dan budaya yang terhimpun dalam
organisasi-organisasi pergerakan dan yang bertujuan untuk memajukan bangsa Indonesia di bidang pendidikan, ekonomi, sosial-budaya,
dan politik serta untuk memperoleh kemerdekaan yang meliputi seluruh bangsa
dari penjajah Belanda.
Organisasi pergerakan
nasional yang pernah lahir di Indonesia antara
lain, Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische Partiij, PNI, Partindo, PKI, Taman Siswa, Perhimpunan Indonesia, Parindra,
Muhammadiyah, PPPKI, dan PPPI.
Sedangkan
organisasi pemuda di antaranya Trikoro Dharmo, Jong Celebes, Jong Sumatra Bond, PPPI, Jong Indonesia,
dan Indonesia Muda. Demikian pula pada
pergerakan kaum wanita Indonesia yang dipelopori oleh R.A.
Kartini dan Dewi Sartika.
Pada 15 Juli 1936, bangsa Indonesia mengeluarkan Petisi
Sutarjo yang berisi tentang
usulan untuk mengadakan konferensi membahas status politik Hindia Belanda di Indonesia. Adapun Gapi
yang merupakan organisasi gabungan
dari beberapa partai-partai politik dan pergerakan nasional di Indonesia menuntut kepada pemerintah
kolonial Belanda agar "Indonesia
Berparlemen."
Gerakan dan Organisasi Pemuda
Organisasi pemuda yang didirikan pada awal abad ke-20
meliputi organisasi-organisasi
yang didukung oleh para pemuda di daerah. Salah satu di antaranya adalah Perkumpulan Pasundan.
Perkumpulan ini didirikan pada 1914
dengan tujuan mempertinggi derajat kesopanan, kecerdasan, memperluas kesempatan kerja, dan penghidupan
kegiatan masyarakat. Pemimpinnya
adalah R. Kosasih Surakusumah, R.Otto Kusuma,
dan R.A.A. Jatiningrat. Organisasi Pasundan merupakan organisasi
semacam Budi Utomo bagi orang Sunda.
Pada
masa sesudah sekitar 1909, di seluruh Indonesia banyak bermunculan organisasi-organisasi baru di kalangan elite
terpelajar yang sebagian besar didasarkan atas
identitas-identitas kesukuan. Misalnya Sarekat Ambon (1920), bertujuan untuk
melindungi kepentingan orangorang Ambon.
Organisasi ini bersifat radikal, ingin berparlemen dan meminta pemerintahan sendiri. Perkumpulan yang
lain adalah Jong Java (1918) yang keanggotaannya khusus untuk
orang-orang Jawa.
Organisasi
lainnya yang berusaha menampung para pemuda dan mahasiswa adalah Sarekat Sumatera (Sumatranen Bond, 1918)
yang merupakan kelompok
mahasiswa Sumatra, Jong Minahasa (Pemuda Minahasa, 1918), yaitu organisasi untuk orang-orang
Minahasa, dan Timorsch Verbond atau
Persekutuan orang-orang Timor (1921) yang didirikan oleh orang-orang Timor dari Pulau Roti dan Sawu
untuk melindungi kepentingan-kepentingan rakyat
Timor.
Pada
1923 dibentuk pula Kaum Betawi di bawah pimpinan M.Husni Thamrin yang berusaha memajukan hak-hak warga
Betawi. Organisasi ini bertujuan memajukan
perdagangan, pertukaran pengajar. MH.
Thamrin kemudian menjadi anggota Volksraad dan Ketua Fraksi Nasional.
Pendirian organisasi kepemudaan di atas tidak hanya
mencerminkan adanya kegairahan
baru untuk berorganisasi pada zaman pergerakan nasional, namun juga mencerminkan kuatnya
identitas-identitas kesukuan dan kemasyarakatan yang terus
berlangsung.
Unsur-unsur
etnosentrismenya juga masih ada dengan mengisolasi diri, tetapi regionalisme itu juga perlahan
dapat menciptakan nasionalisme.
Regionalisme itu selalu dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial
untuk memecah belah dengan melakukan infiltrasi.
Perkumpulan
pemuda didirikan untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Perkumpulan pemuda pertama adalah Tri
Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) yang berdiri pada
7 Maret 1915 di gedung perkumpulan Budi
Utomo. Tri Koro Dharmo bertujuan untuk mengadakan suatu tempat latihan untuk calon-calon pemuda
nasional. Cinta tanah air menjadi
dorongan bagi berdirinya organisasi ini. Organisasi ini kemudian diganti namanya menjadi Jong Java yang
orientasinya lebih luas dari sekedar organisasi daerah, serta
berorientasi pada pergerakan rakyat.
Setelah
berkembangnya rasa nasionalisme pada akhir Perang Dunia I, kegiatan Jong Java
beralih ke politik. Dalam kongresnya pada 1926
di Solo, organisasi ini memiliki anggaran dasar yang menyebutkan ingin menghidupkan rasa persatuan dengan seluruh
bangsa Indonesia
dan
bekerja sama dengan semua organisasi pemuda yang ada guna membentuk kesatuan Indonesia. Organisasi Jong Java dan
yang lainnya dibubarkan dan diganti
dengan Indonesia Muda yang bertujuan Indonesia merdeka.
Di
Sumatra, lahir Jong Sumatra Bond pada 9 Desember 1927 dengan
tujuan memperkokoh ikatan sesama murid Sumatera dan mengembangkan kebudayaan Sumatra. Organisasi ini dipimpin oleh M. Yamin.
Kehadiran organisasi ini segera diikuti dengan berdirinya Jong Minahasa dan
Jong Celebes.
Pada Kongres Pemuda I, Mei 1926, untuk pertama kalinya beberapa organisasi pemuda berhasil dikumpulkan dalam
sebuah kongres. Kongres yang dipimpin oleh M.
Tabrani ini dihadiri Jong Java, Jong Sumatra,
Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Islamieten Bond, dan
Perkumpulan Pemuda Theosofi. Walaupun tidak berhasil
membuat fusi, mereka telah sepakat tentang paham persatuan. Baru pada 28 Oktober 1928 pada Kongres Pemuda II
di gedung Indonesische Club Kramat
No. 106 Jakarta, dapat dipadukan semua organisasi
pemuda menjadi satu kekuatan nasional. Kesepakatan tersebut diikuti dengan ikrar satu nusa, satu
bangsa, dan satu bahasa yang terkenal dengan Sumpah Pemuda, yang isinya:
1. Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah
satu tanah air Indonesia.
2.
Kami
Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu bangsa
Indonesia.
3. Kami
Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Kongres
berhasil menetapkan Sumpah Pemuda yang nantinya dijadikan landasan perjuangan Indonesia merdeka. Pada
malam penutupan, untuk
pertama kali diperdengarkan lagu Indonesia Raya oleh WR. Supratman.
Selanjutnya, PNI, PPPI, Indonesia Muda, dan seluruh perkumpulan pemuda mengaku Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.
Organisasi Kepanduan
Selain organisaasi pemuda yang sifatnya politis, lahir
pula organiasi kepanduan. Kepanduan
mulai ada pada permulaan Perang Dunia I. Kegiatannya difokuskan pada olah raga dengan anggotanya
sebagian besar dari kalangan
murid-murid sekolah, baik sekolah pribumi maupun Belanda.
Salah satu organisasi
kepanduan adalah Ned Indische Badvinders Vereeniging (NIPV). Organisasi ini merupakan kepanduan
campuran pertama yang didirikan pada
1917. Organisasi kepanduan Indonesia
yang pertama adalah Javaansche Padvinders
Organisatie (JPO) didirikan di Solo (1916)
oleh Mangkunegoro VII.
Setelah
1920, organisasi kepanduan berkembang sejalan dengan berkembangnya
semangat nasionalisme dan patriotisme. Dalam organisasi politikpun terdapat organisasi kepanduan, seperti Sarekat Islam Afdeling Pandu, Hizbul Wathon, dan Nationale
Islamitische Padvinderij. Pada 1938,
didirikan Badan Pusat Persaudaraan Kepanduaan untuk menampung organisasi-organisasi kepanduan yang
sudah ada. Organisasi tersebut pada Februari 1941 mengadakan perkemahan
bersama.
Gerakan Wanita
Pergerakan nasional Indonesia tidak hanya di bidang
politik melainkan juga sosial
dan wanita. Salah seorang tokoh wanita yang menyuarakan pentingnya emansipasi antara pria dan wanita
adalah RA. Kartini. Dia kemudian
dinggap sebagai pelopor gerakan emansipasi yang dalam tulisan-tulisannya menuntut agar wanita Indonesia
diberi pendidikan karena
mereka memikul tugas sebagai seorang ibu yang bertanggung
jawab atas pendidikan anaka-naknya.
Buku
Kartini yang diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang adalah buku yang berisi kumpulan surat-surat Kartini
tentang berbagai buah pikirannya.
Buku ini ditulis oleh Abendanon pada 1899. Isinya antara
lain tentang posisi wanita dalam keluarga, adat istiadat, dan keterbelakangan
wanita.
Karena
senang membaca dan bergaul dengan berbagai kalangan, Kartini memiliki padangan yang positif tentang betapa
pentingnya memajukan kaum wanita. Dengan belajar
sungguh-sungguh, dia berpendapat bahwa
memajukan kaumnya dan menolak konservatisme adalah sangat penting.
Demikian juga adat yang
mengharuskan wanita hanya tinggal di dalam
rumah harus dirombak. Kartini meminta agar rakyat Indonesia diberi pendidikan karena pendidikan merupakan
masalah pokok bagi masyarakat
Indonesia. Pendidikan tersebut bukan hanya untuk laki-laki, tapi juga kaum wanita. Pendidikan yang diperoleh
itu selain untuk mengasah
intelegensi, juga untuk membangun sopan santun dan kesusilaan. Kunci kemajuan wanita menurut Kartini
adalah kombinasi antara kebudayaan Barat dan Timur.
Perkumpulan atau
organisasi wanita yang muncul di masa pergerakan
diantaranya adalah Putri Mardika (1912) yang bertujuan memajukan pengajaran terhadap anak-anak perempuan dengan memberikan penerangan dan bantuan dana. Demikian pula
dengan sekolah Kaoetamaan Istri
yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika di Bandung
pada 1904. Sekolah Kartini juga didirikan di Jakarta pada 1913, di Madiun, Malang
dan Cirebon, Pekalongan, Indramayu, Surabaya, dan Rem bang.
Selanjutnya, pada 1920 mulai
muncul perkumpulan wanita yang bergerak di
bidang sosial dan kemasyarakatan. Di Minahasa, berdiri De Gorontalosche Mohammedaansche Vrouwen Vereeniging. Di Yogyakarta lahir perkumpulan Wanita Utomo yang mulai memasukan perempuan ke dalam
kegiatan dasar pekerjaan.
Corak
kebangsaan sudah mulai mempengaruhi pergerakan wanita sejak 1920, hal ini ditandai dengan adanya
Kongres Perempuan Indonesia di
Yogyakarta pada 1928. Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai wakil organisasi wanita, di antaranya Ny. Sukamto
(Wanito Utomo), Nyi Hajar Dewantara (Taman Siswa
bagian wanita), dan Nona Suyatin (Pemuda
Indonesia bagian keputrian). Tujuan kongres Perempuan Indonesia adalah
untuk mempersatukan cita-cita dan usaha untuk
memajukan wanita Indonesia serta mengadakan gabungan di antara per kumpulan wanita ter sebut. Dalam rapat
itu dibicarakan soal nasib wanita dalam perkawinan dan poligami.
Dalam kongres itu pada
umumnya disepakati untuk memajukan wanita
Indonesia serta mengadakan gabungan yang berhaluan kooperatif. Hasil kongres yang terpenting adalah
dibentuknya federasi perkumpulan wanita, bernama Perikatan Perempuan
Indonesia (PPI).
Kongres
Perempuan Indonesia II diadakan membicarakan tentang masalah perburuhan perempuan, pemberantasan buta huruf,
dan perkawinan. Dalam
konggres tersebut, pergerakan wanita Indonesia mendapat
perhatian dari Komite Perempuan Sedunia yang berkedudukan di Paris.
Kongres Perempuan III berlangsung 1938, menyetujui suatu rencana undang-undang perkawinan modern, membicarakan
masalah politik, antara lain hak
pilih dan dipilih bagi kaum wanita untuk Badan Perwakilan.
Selain itu, kongres memutuskan pada 22 Desember menjadi Hari Ibu, dengan menyatakan bahwa peringatan Hari Ibu tiap tahun diharapkan akan menambah kesadaran kaum wanita
Indonesia akan kewajibannya sebagai Ibu Bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar